PEMBERHENTIAN KEPALA NEGARA
DALAM TEORI POLITIK ISLAM
(Studi Kasus Pemberhentian Kepala Negara di Indonesia)
Abstraksi
Studi ini difokuskan pada teori politik Islam tentang pemberhentian kepala negara dengan mengangkat Indonesia sebagai studi kasus. Problematika penelitiannya adalah bagaimanakah konsepsi pemberhentian kepala negara dalam teori politik Islam, dan apakah teori pemakzulan yang diadposi dalam konstitusi Indonesia sejalan dengan konsepsi Islam?
Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis melakukan penelusuran pustaka, baik manual maupun digital, dalam upaya mengumpulkan data-data yang diperlukan. Data primer adalah al-Qur’an dan Sunnah, sedangkan data sekunder berasal dari buku-buku yang ada kaitannya dengan tema pembahasan. Dalam menganalisis data, penulis menggunakan metode kualitatif sebagai perangkat analisis utama. Namun pendekatan ini tidak dapat berdiri sendiri untuk dapat menggambarkan konsepsi pemberhentian kepala negara tanpa didukung oleh studi sosiologis dan antropologis terhadap hal-hal yang melingkupi teori tersebut. Pendekatan historis juga dilibatkan untuk melihat kronologis lahirnya teori-teori dan peristiwa yang melingkupinya.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa teori politik Islam tentang pemakzulan dirumuskan berdasarkan prinsip khilâfah nubuwwah (pemerintahan yang bersifat kenabian), yaitu prinsip syura, mubâya'ah, dan berkeadilan yang dalam perspektif historis dimanifestasikan dalam bentuk ahl al-halli wal al-‘aqdi, kelompok ulama yang diberi wewenang memutuskan masalah-masalah publik. Dalam konteks modern, hal ini dapat dicapai melalui Parlemen atau Majelis Rakyat atau nama lain yang anggotanya dipilih oleh rakyat melalui pemilu. Namun dalam perkembangan selanjutnya, ketika prinsip-prinsip kenabian tidak dapat dipertahankan, akibat konflik internal yang melanda khilafah Islamiyah dan ancaman dari luar, teori politik Islam tentang pemakzulan mengalami perubahan yang sangat mengejutkan. Pemberhentian kepala negara tidak berlangsung di meja syura tetapi berdasarkan kekuatan de facto (syaukah) yang mampu menggulingkan rezim yang berkuasa (ghalabah), yang dalam konteks modern disebut inkonstitusional. Indonesia, sebagaimana negara-negara modern lainnya mengadopsi gagasan pemakzulan secara konstitusional dalam pengertian impeachment, pemakzulan melalui Parlemen. Bahkan setelah amandemen UUD 1945 (1999-2002), peradilan impeachment tidak hanya di Parlemen tetapi juga di Mahkamah Konstitusi. Dengan demikian Indonesia telah memilih untuk melakukan pengembangan atau penyesuaian teori politik Islam dengan bentuk-bentuk modern dari luar yang tidak bertentangan dengan doktrin Islam.
Kajian ini mendukung teori al-Mawardi (975-1058 M/364-450 H), Nurcholis Madjid (1938-2005), Amien Rais, Dawam Rahardjo, M. Din Syamsuddin dan lain-lain, yang menganggap syura sebagai prinsip dasar tatanan politik Islam yang penting untuk dikembangkan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Syura dapat berperan sebagai benteng yang kuat menentang otoritarianisme, dispotisme dan sistem-sistem lain yang mengabaikan hak-hak politik rakyat. Partisipasi dan hak-hak politik rakyat dihormati sepenuhnya dalam penyelenggaraan negara, termasuk hak untuk memilih dan dipilih dalam pemilu. Prinsip syura mengenalkan mekanisme pemakzulan kepala negara harus melalui permusyawaratan yang jujur dan adil serta konstitusional.
jika anda ingin membaca secara lengkap dapat anda downolad disini.