Pengendalian Resiko pada Reasuransi
Syariah (Re-Takaful)
Pada
artikel kali ini, sanabila.com akan membahas tentang Pengendalian Resiko pada
Reasuransi Syariah (Re-Takaful). Pengertian
dari Reasuransi Syariah (Re-Takaful) adalah suatu proses saling menanggung
antara pemberi sesi (ceding company)
dengan penanggung ulang (reasuradur)
dimana ada proses saling menyepakati resiko dan persyaratan dalam subuah
perjanjian (akad) yang dalam mekanisme operasionalnya menggunakan prinsip
syariah (terbebas dari praktek riba, gharar, dan maisir).
Mekanisme
atau ruang lingkup kerja perusahaan asuransi adalah berusaha untuk mengontrol
dan mengatur manajemen risiko serta return dari ketidakpastian di masa yang
akan datang. Risiko selalu melibatkan dua istilah, yaitu ketidakpastian dan
kerugian, entah kerugian fisik maupun finansial. Yang pasti, tidak ada
seorangpun atau satu perusahaan pun yang mengharapkan kerugian.
Perusahaan
asuransi akan menerima klaim pertangungan dari para nasabahnya pada waktu yang
tak terkirakan sebelumnya, sehingga hal ini akan memberikan konsekuensi kepada
perusahaan untuk menentukan besarnya tingkat retensi yang harus ditetapkan.
Sehingga, ketika perusahaan berupaya untuk meminimalisir jumlah kerugian dari
suatu klaim, maka perusahaan akan mengambil suatu jumlah tertentu sebagai
jaminan atas risiko yang ditanggung, jumlah inilah yang disebut dengan retensi.
Retensi
resiko adalah perkiraan secara internal, baik secara utuh maupun sebagian, dari
dampak finansial suatu resiko yang akan dialami oleh perusahaan. Dalam
mengadopsi strategi retensi resiko ini, perlu dibedakan antara 2 jenis retensi
yang berbeda yaitu :
- Retensi resiko yang terencana (planned) adalah asumsi yang secara sadar dan sengaja dilakukan oleh kontraktor untuk mengenali atau mengidentifikasi resiko. Dengan strategi seperti itu, resiko dapat ditahan dengan berbagai cara, tergantung pada filosofi, kebutuhan khusus, dan juga kapabilitas finansial dari kontraktor itu sendiri.
- Retensi resiko yang tidak terencana (unplanned) terjadi ketika kontraktor tidak mengenali atau mengidentifikasi keberadaan dari suatu resiko dan secara tidak sadar mengasumsi kerugian yang akan muncul.
Penetapan
retensi perusahaan akan selalu dievaluasi secara komprehensif dan
berkesinambungan, karena kesalahan dalam menetapkan batas retensi akan
mengakibatkan terganggunya kondisi keuangan perusahaan asuransi tersebut.
Sehingga apabila batas retensi yang telah ditetapkan ternyata lebih rendah dari
klaim yang harus dibayarkan, maka perusahaan akan menghadapi risiko default,
yaitu perusahaan tidak mampu menutup klaim yang diajukan oleh anggota secara
penuh. Apabila hal tersebut terjadi, maka terdapat dua pihak yang mengalami
kerugian, yaitu : Pertama, nasabah yang mengalami musibah karena tidak
mendapatkan ganti rugi secara penuh sebagaimana yang telah disepakati; Kedua,
perusahaan asuransi syariah itu sendiri pun selanjutnya dinilai tidak amanah
dalam menjalankan tugasnya. Sehingga nasabah yang lain akan menarik diri dari
kepesertaan, yang kemudian akan berpindah ke perusahaan asuransi lain yang
menurut para nasabah memiliki pengelolaan resiko yang lebih baik dan amanah.
Keterbatasan
kemampuan dari perusahaan-perusahaan asuransi itulah yang pada akhirnya
mendorong kebutuhan akan adanya perusahaan reasuransi. Melalui mekanisme
reasuransi ini tercipta saling pikul risiko, dimana perusahaan asuransi
mengasuransikan kembali kelolaan premi dari para anggotanya kepada perusahaan
reasuransi. Perusahaan asuransi membagi atau menyebarkan sebagian portofolio
risiko premi asuransi kepada perusahaan reasuransi.
Kontrak
atau akad pembagian risiko ini menjadi kebijakan perusahaan seutuhnya, yang
dilakukannya dengan perusahaan reasuransi, sehingga tidak menuntut keterlibatan
anggota di dalamnya. Karena itu, potensi risk
dan return yang meliputi kontrak
tersebut, menjadi tanggung jawab perusahaan asuransi. Kendati demikian,
pengaturan soal ini tentunya harus dinyatakan secara tegas sebelumnya dalam
kontrak antara anggota dan perusahaan asuransi, bahwa perusahaan asuransi
diperkenankan mengadakan kontrak dengan perusahaan reasuransi tanpa persetujuan
anggota, sepanjang tujuannya adalah untuk melindungi perusahaan asuransi dan
para anggotanya.
Diterapkannya
prinsip tabarru’ (tolong menolong) akan mendorong para peserta asuransi syariah
saling membantu peserta lainnya yang tertimpa musibah, sehingga perusahaan
asuransi hanya bertindak sebagai pengelola dana peserta asuransi syariah
tersebut. Begitupun halnya dengan hubungan antara perusahaan asuransi dengan
perusahaan reasuransi. Dalam skema investasi, maka dana peserta asuransi
syariah hanya dapat ditanamkan kepada investasi-investasi yang halal saja.
Perbedaan operasional ini tentu saja mengakibatkan perbedaan dalam perhitungan
premi dan pemberian return. Perbedaan
ini seharusnya dapat dipahami oleh para peserta asuransi syariah.
Baca Juga :
- Pengertian dan Dasar Hukum Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Perbedaan Reasuransi Syariah (Re-Takaful) dengan Reasuransi Konvensional
- Pengendalian Resiko pada Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Prinsip Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Tujuan dan Fungsi Adanya Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Metode dan Mekanisme Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Hubungan antara Asuransi Syariah (Takaful) dengan Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Perkembangan Reasuransi Syariah (Re-Takaful)
- Daftar Istilah Yang Digunakan Dalam Reasuransi Syariah(Re Takaful)