Syarat Sah Sebuah Perjanjian
Kali ini sanabila.com akan membahas secara khusus mengenai Syarat Sah Sebuah Perjanjian, karena perjanjian sangat erat kaitannya dengan mekanisme dalam pembelian asuransi.
Hal yang perlu diperhatikan agar suatu perjanjian dapat dikatakan sah, yaitu harus memenuhi syarat seperti yang diatur dalam Pasal 1320 KUHPerdata, yaitu:
- Sepakat Mereka yang Mengikatkan Diri;
Syarat pertama untuk terjadinya perjanjian ialah “sepakat mereka yang mengikatkan dirinya”. Sepakat tersebut mencakup pengertian tidak saja “sepakat” untuk mengikatkan diri, tetapi juga “sepakat” untuk mendapatkan prestasi.
Undang-undang tidak menjelaskan apa yang dimaksudkan dengan kata “sepakat”. Akan tetapi, ketentuan Pasal 1321 KUHPerdata justru menyebutkan hal-hal “sepakat” tidak terbentuk, yaitu jika sepakat diberikan karena “kekhilafan atau diperolehnya dengan paksaan atau penipuan”.
- Kecakapan Untuk Membuat Suatu Perjanjian;
Sepanjang oleh hukum positif seseorang diakui sebagai subjek hukum, maka ia akan memiliki kewenangan hukum. Dengan kata lain, setiap subjek hokum memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan hukum.
Sedangkan, yang dapat dan boleh bertindak dan mengikatkan diri adalah mereka yang cakap bertindak dan mampu untuk melakukan suatu tindakan hukum (handelingsbekwaam) yang membawa akibat hukum. Sepanjang tidak ditentukan lain oleh undang-undang, setiap orang (natuurlijke persoon) dianggap cakap melakukan tindakan hukum.
- Suatu hal tertentu;
Sebagaimana yang disebutkan di dalam ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata bahwa yang dimaksud dengan “suatu hal tertentu” tidak lain adalah apa yang menjadi hak dan kewajiban yang timbul dari perjanjian.
- Suatu sebab yang halal.
Kausa yang halal maksudnya adalah isi perjanjian asuransi itu tidak dilarang undang-undang, tidak bertentangan dengan ketertiban umum, dan tidak bertentangan dengan kesusilaan. Suatu sebab yang halal dikaitkan dengan muatan isi kontrak. Kebebasan berkontrak akan dibatasi apabila pelaksanaan kebebasan berkontrak dalam situasi konkret ternyata bertentangan dengan kepentingan dalam tataran yang lebih tinggi. Undang-undang menghargai asas kebebasan berkontrak. Namun, kebebasan tersebut dibatasi karena perjanjian harus memiliki kausa yang halal.
Pada umumnya, suatu tindakan hukum akan dinyatakan dilarang dalam hal perbuatan tersebut bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum (Pasal 1337 KUHPerdata). Menjadi masalah adalah kausa menakah yang sebenarnya dilarang oleh undang-undang, kesusilaan, atau ketertiban umum dan kemudian menyebabkan batalnya perbuatan hukum tersebut. Ini menjadi persoalan karena hukum perdata memuat ketentuan perundang-undangan, baik yang bersifat memaksa (dwingend recht) ataupun yang sekedar bersifat mengatur (regelend recht). Tidaklah mudah untuk menetapkan apakah suatu ketentuan bersifat memaksa atau sekedar mengatur melengkapi.
Syarat sahnya suatu perjanjian yang di atur dalam Pasal 1320 KUHPerdata,
Subekti juga menyatakan sebagai berikut:
“Keempat syarat-syarat itu secara umum dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu: syarat yang pertama dan kedua disebut dengan syarat subjektif, sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut juga syarat objektif. Digolongkannya empat syarat pada Pasal 1320 BW itu menjadi dua, karena syarat yang pertama dan kedua mengenai orang-orang yang membuat perjanjian (para pihak dalam suatu perjanjian), sehingga disebut syarat subjektif, sedangkan dua syarat terakhir disebut syarat objektif karena mengenai perjanjian yang dilakukan.”
Syarat pertama dan kedua disebut juga dengan syarat subjektif karena menyangkut orang-orang atau pihak yang membuat perjanjian. Apabila syarat Subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian yang telah dibuat itu dapat dibatalkan, dan salah satu pihak dapat meminta kepada hakim supaya perjanjian yang telah dibuat itu dapat dibatalkan (voidable atau vernietigbaar).
Syarat ketiga dan keempat disebut dengan syarat Objektif, karena terkait mengenai perjanjian yang dilakukan. Apabila syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat akan berakibat batal demi hukum (null and void atau nietig verklaard), maksudnya perjanjian yang dibuat itu dianggap tidak pernah ada. Jika syarat objektif ini tidak terpenuhi, maka dapat dianggap bahwa sudah sejak awal tidak pernah lahir suatu perjanjian sehingga tidak pernah ada perikatan karena tidak pernah lahir perjanjian.
Baca Juga :