Sejarah Kain Tenun |
Kain tenun di Indonesia diperkirakan telah ada sejak masa Neolitikum. Hal tersebut telah dibuktikan dengan ditemukannya benda-benda prasejarah prehistoris, seperti cap tenunan, alat untuk memintal, dan bahan yang terlihat jelas adanya tenunan pada kain yang terbuat dari kapas, yang ditemukan lebih dari 3.000 tahun yang lalu pada situs Sumba Timur, Gunung Wingko, Yogyakarta, Gilimanuk, Melolo.
Pada masa Neolitikum, bahan untuk membuat pakaian masih sangat sederhana, seperti serat, daun-daunan, kulit kayu, kulit binatang, serta akar tumbuh-tumbuhan. Pembuatan pakaian dari kulit kayu harus memilih jenis pohon keras dan mempunyai serat kayu yang panjang, selanjutnya pohon tersebut dikuliti, kemudian serat kayu direndam air agar lunak. Kemudian digunakan alat pemukul berupa batu untuk membentuk kulit kayu menjadi kain. Sisa tradisi pembuatan kain semacam ini masih ditemukan di daerah Sulawesi Tengah yang disebut “Fuya” dan di Irian disebut “Capo”.
Negara-negara yang banyak memengaruhi kain tenun tradisional Indonesia adalah India, Persia, Cina, Eropa, Vietnam, Myanmar, Thailand, Cambodia, dan lain-lain yang juga ikut mempengaruhinya. Pengaruh-pengaruh tersebut tampak pada kain seperti kain bermotif burung poenix. Penggambaran manusia bahkan binatang kera pada relief di candi-candi seperti Borobudur dan Prambanan (adegan Sugriwa-Subali) abad 8-9 digambarkan memakai pakaian.
Dalam prasasti Jawa Kuno dapat ditemukan istilah-istilah yang memberikan gambaran tentang adanya pertenunan di masa lalu. Pada prasasti Karang Tengah berangka tahun 847 (kol. Mus Nas No D 27) terdapat tulisan “putih hlai 1 (satu) kalambi” artinya kain putih satu helai dan baju. Pada prasasti “Baru” tahun 1034 M disebut kata Pawdikan artinya pembatik atau penenun. Pada prasasti “Cane” tahun 1021 M dan prasasti dari Singosari tahun 929 M (kol. Mus Nas No 88) terdapat istilah “makapas” atau madagang kapas. Dalam cerita rakyat yang ada hubungannya dengan pertenunan adalah cerita Sang Kuriang, seorang tokoh penting dalam cerita itu yaitu Dayang Sumbi yang pekerjaannya sehari-hari adalah menenun. Pembuatan pakaian pada masa lalu dapat petunjuk pada relief “wanita sedang menenun” yang dipahatkan pada umpak batu abad 14 dari daerah Trowulan, sekarang tersimpan di Museum Trowulan, Jatim.
Teknik pembuatan tenun dapat dibagi menjadi dua golongan besar, yaitu teknik dalam membuat kain dan teknik membuat hiasan. Selain itu, ada dua hal lagi yang sangat penting dalam pembuatan tenun, yaitu mempersiapkan pembuatan benang dan pembuatan zat warna. Pembuatan benang secara tradisional dengan menggunakan pemberat yang diputar dengan jari tangan (Jawa: diplintir), pemberat tersebut berbentuk seperti gasing terbuat dari kayu atau terakota. Di Indonesia bagian barat (Sumatera, Jawa, Bali, Lombok) ada cara lain membuat benang dengan menggunakan “Antih,” alat ini terdiri dari sebuah roda lebar yang bisa diputar berikut pengaitnya (Jawa: ontel) untuk memutar roda tersebut. Bahan membuat benang selain kapas, kulit kayu, serat pisang, serat nanas, daun palem, dsb. Pembuatan zat warna pada masa lalu terdiri dari dua warna biru dan merah. Warna biru didapatkan dari indigo atau Mirinda Citrifonela atau mengkudu. Selain itu ada pewarna dari tumbuhan lain seperti kesumba (sono keling).
Jika Anda ingin melihat berbagai macam tenun, Anda bisa berkunjung ke toko kami di sanabilastore.com.
Sumber : http://blogs.unpad.ac.id/